Gobar with Rodalink ke Majalaya... Awalnya Sangsi, Ujungnya Hepi-hepi di Curug Madi!

 


Waktu saya diajak gobar sama Rodalink ke Majalaya sama Ayung, awalnya sangsi banget. Soalnya rutenya nanjak ke Jembatan Kuning. Emangnya kuat?

Ke-sangsi-an saya sebetulnya bukan hanya soal tanjakannya saja, tapi apa komunitasnya nyambung sama saya yang pakai MTB?

Acara dari Rodalink itu judulnya "Gravelink to Majalaya". Nah.. Gravelink itu komunitas goweser gravel dan bikepacking yang dibentuk Rodalink.

Sudah gitu saya dan Ayung bukan goweser pencari tanjakan dan kami tahu betul betapa nggilani-nya tanjakan menuju Jembatan Kuning di Kamojang itu.

"Sudah coba aja dulu," kata Ayung. "Nanti pulangnya kita cari jalur yang jenaka."

Okey akhirnya kami memutuskan join saja... Minggu 13/10/2024 kemarin saya ke Rodalink di Otista dan nguat-nguatin diri aja buat nanjak-nanjak seharian. 

Ternyata ke-sangsi-an pertama saya langsung terhapuskan saat sampai di Rodalink Otista. Ada 24 peserta yang join dan mayoritas justru pakai MTB dan gravel flat bar.

Saya celingak-celinguk, wah cuma ada Dimas yang saya kenal. Sisanya saya harus kenalan dulu nih.

Iya Dimas yang ini... Yang sudah berkali-kali kami prank sampai akhirnya kebal. Memang itulah fungsi Imunisasi, Dimas!

Lah Ayung ke mana? Ternyata ada kepentingan mendadak yang tak bisa ditinggalkan. Urgent.

"Gak bisa ikut euy," katanya sedih.

Pagi sekitar pukul 7 kami dikumpulkan semua doa bareng-bareng buat membuka perjalanan hari itu. Sekaligus sesi saling kenalan juga karena muka-muka ini potensial buat jadi kawan gowes jenaka di masa mendatang, hehehe...

"Tenang bapak-bapak... Kalau tidak kuat, ada saya, Dafid, sama Nugi yang bakal nemanin dorong!" kata Ryan sambil ketawa-ketawa dari tim Rodalink pagi itu saat acara pembukaan.

Wah kayaknya panitianya yang mulai jenaka ini...

Awal perjalanan di pagi itu memang enggak terlalu spesial.Membelah kota menuju selatan melalui Bojongsoang. 

Rute ini malah bikin inget sama Graventuria Pedalpora Mei 2024 lalu. Dengan vibes yang bisa dibilang mirip juga, gowes rame-rame masih hahahihi di pagi yang teriknya Naudzubillah. 

Baru jam 8 pagi kok sudah panas kayak jelang Dzuhur.

Memang ada sedikit variasi di sana-sini tapi ujung-ujungnya melewati persawahan hingga jalan raya Ciparay-Majalaya yang enggak ada asyik-asyiknya.

Masuk Majalaya, baru deh mulai dengan berat hati dan terpaksa saya harus lalui tanjakan-tanjakan yang sudah disajikan sepanjang jalan. 

Rombongan juga mulai tercecer sampai digabung lagi di Warung Bandrek Paseh.


Pokoknya kalau buat goweser yang mau menjajal nanjak ke Kamojang, paling tidak pergunakan tempat ini buat istirahat.

Selepas Warung Bandrek Paseh justru kegilaan makin menjadi. Rombongan makin tercecer lagi. Ada yang keram, ada yang ketawa-ketawa saja. Yang dorong sepeda? Enggak kehitung.

Kalau diukur pakai Komoot, gradien paling terjal di area tersebut ada di angka 22-24% saja. 

(Hanya? Itu udah bikin dengkul meledak)


Makanya pakai motor saja saya malas ke area ini. Kenapa sekarang malah pakai sepeda?

Ya karena ada keperluannya. Kalau enggak ada keperluan ya ngapain juga ke sini, hahahaha...


Tapi begitulah kalau sudah sering bersepeda. Kadang nanjak terasa berat dan lama, pas lihat jam kok baru jam 10 ya? Kok baru jam 11 ya? 

Tahu-tahu saya dan Dimas sudah sampai saja di Jembatan Kuning sekitar jam setengah 12. Itu juga dalam kondisi yang masih oke enggak hancur lebur.

"Ya nanti dari sini kita ke curug dulu," kata Ryan saat kami istirahat buat makan siang di warung dekat Jembatan Kuning.

Saya pikir, apa curugnya ada airnya lagi musim kering gini. Semoga tidak mengecewakan nanti pas sudah di TKP...

"Kata si bapak (warung) cuma 10 menit," lanjut Ryan.

Haduh Ryan ini apa sudah tahu atau belum ya... Rumus nanya ke warga lokal itu jawabannya harus dikali tiga. 

Mau nanya jarak atau waktu tempuh, harus DIKALI TIGA!

Tapi kan saya cuma peserta, jadi ya manut saja deh. Lagian juga jarang-jarang ke sini.

Selepas makan kami bergerak lagi menuju arah Jalur Monteng lama yang kalau saya boleh jujur, ini tanjakan paling terjal di Bandung Timur, kalau bukan di Bandung Raya.

Tapi jelang kegilaan Tanjakan Monteng, kami belok kanan. Masuk ke jalan setapak.

Oh, Curug Madi namanya...

Sebagaimana tempat wisata yang dikelola warga lokal pada umumnya, tidak ada loket resmi. Hanya ada seorang bapak duduk di kursi di pelataran yang dijadikan tempat parkir motor.

"Nih pak, 50 ribu yah satu rombongan," sodor Ryan.

"Ah ini banyak orangnya ini..." kata si bapak merajuk.

"Enggak pak, cuma segini doang tuh hitung," tunjuk Ryan ke kami-kami yang saat itu sudah mengantri di depan jalan setapak. Saat itu paling baru sekitar 10 sepeda.

Ketika si bapak sudah bilang oke, barulah sisa rombongan lain datang. Si bapak terdengar mengeluh.

"Aih naha jadi loba kieu kirang atuh aaaaah..."

Tapi karena sudah keburu setuju Rp 50 ribu buat semua, si bapak tak bisa berbuat banyak.

Dari sini, rutenya mulai jenaka dan menyenangkan. Jadi dari loket ke Curug Madi itu jaraknya lumayan. Mungkin hampir 1km.

Kalau jalan kaki berasa capek banget... Tapi kami pakai sepeda. Justru menyenangkan banget!

Ini baru jenis jalanan yang saya suka, singletrack dengan tajuk pepohonan yang syahdu. Makin dekat air terjunnya, makin rimbun.

Bisa dibilang Curug Madi itu reward yang setimpal setelah siksaan nanjak dari Majalaya.

Kalau ngomongin soal pengelolaannya, sebetulnya area Curug Madi itu cukup bersih. Airnya jernih tak ada sampah. Dan di beberapa sudut sudah disediakan tempat sampah oleh pengelola.

Perkara sampah yang masih ada bertebaran, ya paham sendiri lah ya SDM kita.

Kami tidak terlalu berlama-lama di Curug Madi. Barangkali sekitar 1 jam saja di sana sudah cukup. Pukul 2 siang kami beranjak turun lagi.

Salam ke senior...

Tapi kami putuskan jalur turunnya beda. Kami pakai rute di samping jembatan Kuning yang keterjalannya benar-benar gila.

Jadi kami lewati dulu itu jembatan kuning dan sekitar 50 meter setelah nanjak sedikit ada belok kiri yang langsung terjun kayak rollercoaster.

"Sepi banget yah lewat sini, asyik pula syahdu," kata Dimas saat menuruni jalur tersebut.

"Ya gimana kagak sepi Dim, liat aja terjalnya kayak terjun payung gini. Lu mau lewat sini buat nanjak?" cecar saya. 

"OGAH!" serunya.

Memang rute samping Jembatan Kuning ini suasanaya sangat menyenangkan. Syahdu dan pemandangannya bagus. Tapi terjal dan banyak tikungan yang patah-patah.

Saran saya, gunakan jalur ini buat turun saja. Dan pastikan kondisi rem sedang prima.

Kalau mau coba nanjak lewat jalur ini ya saya enggak melarang. Kalau saya sih jelas enggak mau ya.

Perjalanan turun memang enggak terlalu spesial setelah ketemu jalur utama di Paseh hingga Majalaya. Malah saya lihat baru jam 4 sore ketika rombongan pamitan berpencar di pertigaan Baleendah.

Saya dan Dimas ambil jalur ke arah Baleendah, sedangkan tim Rodalink dan sisa rombongan lain pilih belok ke Bojongsoang.

"Thanks kang, thanks tim Rodalink!" kata saya kepada Ryan, Dafid, dan Nugi saat itu.

"Next time ikut lagi yah," jawab Ryan.

"Kalau mau next time saya yang bikinin rutenya!" Jawab saya yang cuma dibalas ketawa. Entah ketawa bercanda atau serius minta dibikin rutenya.

Selepas rombongan Rodalink berpisah dan tidak kelihatan, ya saya dan Dimas pun lanjut. 

Lanjut ke tukang kelapa muda. Haus banget dan asli bete banget buat melanjutkan perjalanan lagi.

Tapi mau ga mau harus lanjut dong... Kami harus himpun semangat lagi dengan kelapa muda itu.

Karena "Going home is another adventure"...

***

(KLIK TAUTAN-TAUTAN KOMOOT DI BAWAH UNTUK INFORMASI LOKASI LEBIH DETIL)

Posting Komentar

0 Komentar